Rabu, 12 Februari 2014

Membuka Pintu Ijtihad

MEMBUKA PINTU IJTIHAD


1.      PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Sumber hukum yang paling mendasar dalam Islam adalah Al-Qur’an dan As-Sunnah. Al-Qur’an telah diwahyukan secara alamiah tumbuh dan berkembang lebih luas dengan tersebarnya Islam ke segala penjuru. Kebanyakan persoalan yang dihadapi kaum muslimin yang hidup di masa Rasulullah berbeda dengan yang dihadapi generasi berikutnya dengan terjadinya kontak dan saling pengaruh mempengaruhi antara Islam dan budaya-budaya lain yang bertetangga dengannya.
Dengan demikian hukum-hukum yang disediakan oleh sumber Al-Qur’an dan As-Sunnah di masa Rasulullah harus ditambahi dan sesekali ditafsir ulang dan diperluas untuk mencakup persoalan-persoalan baru yang harus ditemukan jawabannya. Hukum Islam berkembang dengan munculnya persoalan baru dari waktu ke waktu semenjak masa Rasulullah, serta dicipta dan ditafsir ulang, ditafsir dan ditafsir lagi, sesuai dengan kondisi lingkungan yang beraneka. Proses pemikiran dan penafsiran ulang hukum secara independen itu dikenal dengan ijtihad.

B.     Rumusan Masalah
1. Apakah pengertian ijtihad ?
2. Apa sajakah syarat-syarat dan tingkatan mujtahid ?
3.  Apa sajakah metode dan lapangan ijtihad ?
4.  Bagaimanakah cara ijtihad yang mula-mula ?

C.    Tujuan Penulisan
1.   Untuk menjelaskan pengertian ijtihad.
2.   Untuk menjelaskan syarat-syarat dan tingkatan mujtahid.
3.   Untuk menjelaskan metode dan lapangan ijtihad.
4.   untuk mengetahui cara ijtihad yang mula-mula.

2.      PEMBAHASAN
A.    Pengertian Ijtihad
Menurut bahasa  اِجْتِهَادٌberasal dari bahasa ِArab. Bentuk masdar dari kata اِجْتَهَدَ,يَجْتَهِدُ yang artinya mengerahkan segala kesanggupan untuk mengerjakan sesuatu yang sulit.
             Sedangkan secara istilah, ijtihad didefinisikan sebagai berikut :
بَذْلُ الْجُهْدِفِى اْستِنْبَاطِ الْحُكْمِ الشَّّرْعِيِّ مِمَّااعْتَبَرَهُ الشَِّرعُ وَهُوَكِتَابُ اللهِ وَسُنَّةُ رَسُلِهِ
Artinya: “Mencurahkan segala kemampuan untuk mengeluarkan hukum syara’ dari nash (sumber hukum)syara’ yaitu Al-Qur’an dan hadits
Dari pengertian di atas dapat dipahami bahwa, ijtihad berlaku pada ayat atau hadits yang masih bersifat zhan, artinya masalah tersebut hukumnya belum ada dalam nash. Jadi ijtihad tidak berlaku pada masalah yang hukumnya sudah pasti (qath’i) seperti shalat, puasa, zakat, haji.[1]

B.     Syarat-Syarat Mujtahid
Mujtahid adalah orang yang melakukan ijtihad. Mujtahid harus memiliki syarat-syrat untuk bisa melakukan ijtihad. Karena ijtihad merupakan perbuatan yang sukar lagi berat. Ada sepuluh syarat yang harus dimiliki oleh seorang mujtahid :
1.      Memiliki pengetahuan yang luas tentang ayat-ayat Al-Qur’an yang berhubungan denagn masalah hukum.
2.      Memiliki pengetahuan yang luas tentang hadits-hadits Nabi yang berhubungan dengan masalah hukum.
3.   Menguasai seluruh masalah yang hukumnya telah ditetapkan oleh ijma’. Hal ini agar keputusan ijtihadnya tidak bertentangan dengan ijma’.
4.      Memiliki pengetahuan yang luas tentang qiyas dan dapat menerapkannya.
5.  Menguasai ilmu logika agar dapat mengambil kesimpulan dengan benar dan sanggup mempertanggung jawabkannya.
6.    Menguasai bahasa Arab secara mendalam. Karena Al-Qur’an dan hadits tersusun dengan gaya bahasa Arab yang tinggi.
7.      Mengetahui pengetahuan yang mendalam tentang nasikh dan mansukh dalam Al-Qur’an dan hadits. Agar tidak menggunakan nash yang sudah dinasakh hukumnya.
8.      Mengetahui latar belakang turunnya ayat (asbabun nuzul) dan turunnya hadits agar dapat menggali hukum  yang tepat.
9.      Mengetahui sejarah para perawi hadits agar dapat dikeahui mana hadits yang shahih dan yang lemah.
10.  Mengetahui kaidah-kaidah istimbad hukum (ushul fiqh) sehingga mampu mengolah dan menganalisis dalil-dalil hukum sehingga menghasilkan hukum yang benar.[2]

C.    Tingkatan Mujtahid
Dalam kajian hukum Islam, mujtahid memiliki beberapa peringkat :
1.      Mujtahid fi al-syar’i disebut juga mujtahid mustaqil. Yaitu orang yang membangun suatu madzhab seperti imam mujtahid yang empat yaitu Imam Abu HAnifah, Maliki, Syafi’I dan Ahmad bin Hambal.
2.      Mujatahid fi al-madzhab yaitu mujtahid yang tidak membentuk madzhab sendiri tapi mengikuti salah seorang Imam madzhab. Mujathid fi al-madzhab terkadang menyalahi istihad Imamnya pada beberapa masalah. Ia berijtihad sendiri tentang masalah itu. Yang termasuk ke dalam mujathid fi al-madzhab ini seperti : Abu Yusuf dalam madzhab Hanafi dan Al-Muzany dalam madzhab Syafi’i.
3.      Mujtahid fi al-masa’il ialah mujatahid yang berijtihad hanya pada beberapa masalah dan bukan pada masalah-masalah yang umum seperti al-Thahawi dalam madzhab Hanafi dan Al-Ghazaly dalam madzhab Syafi’i serta Al-Khiraqy dsalam madzhab Hambali.
4.      Mujtahid muqoyyad yaitu mujtahid yang mengikat diri dengan pendapat ulama salaf dan mengikuti ijtihad mereka. Hanya saja mereka mengetahui dasar dan memahami dalalahnya dan inilah yang disebut dengan takhrij. Mereka mempunyai kesanggupan untuk menentukan mana yang lebih utama dari pendapat yang berbeda-beda dalam madzhab dan dapat membedakan riwayat yang kuat dengan yang lemah.[3]

D.    Metode Ijtihad
Untuk melakukan ijtihad ada beberapa cara yang dapt ditempuh oleh seorang mujtahid. Cara-cara itu adalah :
1.      Qiyas dengan cara menyamakan hukum sesuatu dengan hukum yang lain yang sudah ada hukumnya dikarenakan adanya persamaan sebab. Contoh mencium isteri ketika berpuasa hukumnya tidak membatalkan puasa karena disamakan dengan berkumur-kumur.
2.      Maslahah mursalah yaitu menetapkan hukum yang sama sekali tidak ada nashnya dengan pertimbangan untuk kepentingan hidup manusia yang bersendikan kepada  asas menarik manfaat dan menghindari madlarat, contoh mencatat pernikahan.
3.      Istihsan yaitu memandang yang lebih baik sesuai dengan tujuan syari’at. Meninggalkan dalil khusus dan mengamalkan dalil umum. Contoh boleh menjual harta wakaf karena dengan menjualnya akan tercapai tujuan syari’at yaitu membuat sesuatu itu tidak mubadzir.
4.      Istishab yaitu melangsungkan berlakunya ketentuan hukum yang ada sampai ketentuan dalil yang mengubahnya. Contoh segala makanan dan minuman yang tidak ada dalil keharamannya maka hukumnya mubah.
5.      Urf yaitu kebiasaan yang sudah mendarah daging dilakukan oleh suatu kelompok masyarakat. Ada dua macam urf. Pertama urf shahih yaitu urf yang dapat diterima oleh masyarakat secara luas, dibenarkan oleh akal yang sehat, membawa kebaikan dan sejalan dengan prinsip nash. Contohnya acara tahlilan, bagian harta gono-gini untuk istri yang ditinggal suaminya. Kedua urf fasyid yaitu kebiasaan jelek yang merupakan lawan urf shahih. Contohnya kebiasaan pengantin meninggalkan shalat, mabuk-mabukan dalam acara resepsi pernikahan dan sebagainya.[4]

E.     Lapangan Ijtihad
Lapangan ijtihad ada dua macam :
1.      Ayat atau hadits yang masih mengandung zhan (dugaan) belum jelas. Seperti tentang membasuh kepala dalam wudlu, hukum musik dan nyanyian, hukum bersentuhan kulit antara ghairu mahram yang berwudlu, masalah keberadaan wali dalam pernikahan, hukum membaca qunut dalam shalat shubuh.
2.      Sesuatu yang hukumnya tidak ada nashnya sama sekali seperti KB, bayi tabung, operasi plastik, alat kontrasepsi, bedah mayat, menggugurkan kandungan dan sebagainya.
Hasil ijtihad seseorang tidak bisa dibatalakan oleh ijtihad orang lain dalam perkara yang sama dengan alasan :
1.      Ijtihad yang kedua tidaklah lebih kuat dari ijtihad yang pertama.
2.      Ijtihad diantara ulama berhak untuk diikuti dari yang lainnya.
3.      Membatalakan satu ijtihad denag ijtihad yang lain dapat mengakibatkan tidak tegasnya suatu hukum dan ini merupakan kesulitan dan kesempitan.[5]

F.     Ijtihad yang Mula-Mula
Istilah ijtihad dalam periode awal dipergunakan dengan pengertian yang lebih sempit dan lebih khusus dari pada yang kemudian digunakan masa Al-Syafi’i dan di masa sesudahnya.istilah ini mengandung arti pertimbangan bijaksana yang adil atau pendapat seorang ahli. Ada satu riwayat mengenai Umar bin Khatab saat bahwa suatu hari pada bulan Ramadhan, ia mengumumkan tibanya saat berbuka ketika matahari tampakmya sudah terbenam. Setelah bebrapa saat, ia diberi tahu oarng bahwa matahari terlihat kembalai di ufuk barat (karena sebenarnya belum terbenam). Atas hal ini dikabarkan ia menyatakan : “bukan soal yang gawat. Kami sudah berijtihad (qod ijtihadna)”. Ini merupakan contoh awal penggunan istilah ini oleh para sahabat dengan artian pertimbangan yang didasarkan pada kebijaksanaan.
Dalam awal periode ra’yi (pertimbangan pendapat pribadi) merupakan alat pokok dari ijtihad. Istilah ini merupakan istilah generik yang mendahului pertumbuhan hukum dalam prinsip-prinsip qiyas dan istihsan yang lebih sistematis, tetapi ia terus digunakan bahkan pada qiyas oleh sekelompok yang paling kanan.
Secara harfiah ra’yi berarti pendapat dan pertimbangan. Tetapi orang-orang Arab telah mempergunakannya bagi pendapat dan keahlian yang dipertimbangkan dengan baik dalam menangani urusan yang dihadapi. Seorang yang memiliki persepsi mental dan pertimbangan yang bijaksana dikenal sebagai dzu ‘I-ra’yi. Lawan kata dari dzu ‘I-ra’yi adalah mufannad, seseorang yang lemah dalam pertimbangan dan tak bijaksana dalam berpikir. Julukan mufannad diriwayatkan hanya berlaku bagi laki-laki dan tidak bagi perempuan, karena menurut orang-orang Arab perempuan tak memiliki ra’yi meskipun di masa mudanya, apa lagi di masa tuanya.[6]

3.      ANALISIS
Ijtihad merupakan salah satu sumber hukum Islam setelah Al-Qur’an dan hadits. Ijtihad mempunyai peranan yang sangat penting dalam Islam. Ijtihad digunakan untuk menjelaskan hokum yang belum ada dalil nash dalam Al-Qur’an dan hadits. Karena permasalahan yang timbul sekarang ini sangat kompleks dan jawabannya tidak terdapat dalam Al-Qur’an maupun hadits. Oleh Karena itu, ijtihad untuk sekarang ini merupakan hal yang dharuri (mendesak) untuk dilakukan karena begitu banyak kasus permasalahan baru yang sifatnya kompleks dan rumit yang memerlukan jawaban dari hukum Islam.

4.      SIMPULAN
Dari pembahasan di atas dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :
1.      Ijtihad adalah mencurahkan segala kemampuan untuk mengeluarkan hukum  syara’ dari nash (sumber hukum) syara’ yaitu Al-Qur’an dan Hadits.
2.      Seorang mujtahid harus memiliki syarat-syarat untuk bisa melakukan ijtihad, diantaranya mengetahui tenatng ayat-ayat Al-Qur’an dan hadits yang berhubungan dengan hukum, memiliki pengetahuan yang luas tentang ijma, dan qiyas, menguasai ilmu logika, mengetahui nasikh mansukh, mengetahui bahasa Arab secara mendalam, mengetahui asbabun nuzul dan asbabul wurud, mengetahui sejarah para perawi hadits, mengetahui kaidah-kaidah istimbad hukum (ushul fiqh).
3.      Mujtahid memiliki beberapa tingkatan yaitu mujtahid fi syar’i, mujtahid fil madzhab, mujtahid fil masa’il dan mujtahid muqayyad.
4.      Ada beberapa cara yang dapat ditempuh oleh seoarng mujtahid diantaranya qiyas, maslahah mursalah, istihasan, istishab dan urf.
5.      Lapangan ijtihad ada dua yaitu nash yang masih mengandung zhan (dugaan)belum jelas dan sesuatu yang tidak ada nashnya sama sekali.
6.      Ijtihad yang mula-mula dilakukan oleh sahabat dipergunakan dengan artian pertimbangan yang didasarkan pada kebijaksanaan.



DAFTAR PUSTAKA

Hasan, Ahmad, 1994. Pintu Ijtihad Sebelum Tertutup. Bandung : PUSTAKA.
Saifudin, 1994. Ushul Fiqh. Yogyakarta : INTI MEDIA




[1] Drs. Saifudin, M.Ag. UsHul Fiqh (Yogyakarta : INTI MEDIA), 1994. Hlm.53-54
[2] Ibid. hlm. 54-55
[3] Ibid. hlm 56-57
[4] Ibid. hlm. 58-59
[5] Ibid. Hlm. 57-58
[6] Ahmad Hasan, Pintu Ijtihad Sebelum Tertutup (Bandung : Pustaka, 1994) Hlm. 103-105

Tidak ada komentar:

Posting Komentar