MEMBUKA PINTU IJTIHAD
1. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sumber hukum yang paling mendasar dalam
Islam adalah Al-Qur’an dan As-Sunnah. Al-Qur’an telah diwahyukan secara alamiah
tumbuh dan berkembang lebih luas dengan tersebarnya Islam ke segala penjuru.
Kebanyakan persoalan yang dihadapi kaum muslimin yang hidup di masa Rasulullah
berbeda dengan yang dihadapi generasi berikutnya dengan terjadinya kontak dan
saling pengaruh mempengaruhi antara Islam dan budaya-budaya lain yang
bertetangga dengannya.
Dengan demikian hukum-hukum yang
disediakan oleh sumber Al-Qur’an dan As-Sunnah di masa Rasulullah harus
ditambahi dan sesekali ditafsir ulang dan diperluas untuk mencakup
persoalan-persoalan baru yang harus ditemukan jawabannya. Hukum Islam berkembang
dengan munculnya persoalan baru dari waktu ke waktu semenjak masa Rasulullah,
serta dicipta dan ditafsir ulang, ditafsir dan ditafsir lagi, sesuai dengan
kondisi lingkungan yang beraneka. Proses pemikiran dan penafsiran ulang hukum
secara independen itu dikenal dengan ijtihad.
B.
Rumusan
Masalah
1. Apakah
pengertian ijtihad ?
2. Apa
sajakah syarat-syarat dan tingkatan mujtahid ?
3. Apa
sajakah metode dan lapangan ijtihad ?
4.
Bagaimanakah
cara ijtihad yang mula-mula ?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk menjelaskan pengertian ijtihad.
2. Untuk menjelaskan syarat-syarat dan tingkatan
mujtahid.
3. Untuk menjelaskan metode dan lapangan
ijtihad.
4. untuk mengetahui cara ijtihad yang mula-mula.
2. PEMBAHASAN
A. Pengertian Ijtihad
Menurut bahasa اِجْتِهَادٌberasal
dari bahasa ِArab.
Bentuk masdar dari kata اِجْتَهَدَ,يَجْتَهِدُ yang artinya
mengerahkan segala kesanggupan untuk mengerjakan sesuatu yang sulit.
Sedangkan
secara istilah, ijtihad didefinisikan sebagai berikut :
بَذْلُ
الْجُهْدِفِى اْستِنْبَاطِ الْحُكْمِ الشَّّرْعِيِّ مِمَّااعْتَبَرَهُ الشَِّرعُ وَهُوَكِتَابُ
اللهِ وَسُنَّةُ رَسُلِهِ
Artinya: “Mencurahkan segala kemampuan untuk
mengeluarkan hukum syara’ dari nash (sumber hukum)syara’ yaitu Al-Qur’an dan
hadits
Dari pengertian di atas dapat
dipahami bahwa, ijtihad berlaku pada ayat atau hadits yang masih bersifat zhan,
artinya masalah tersebut hukumnya belum ada dalam nash. Jadi ijtihad tidak
berlaku pada masalah yang hukumnya sudah pasti (qath’i) seperti shalat, puasa,
zakat, haji.[1]
B. Syarat-Syarat Mujtahid
Mujtahid adalah orang yang
melakukan ijtihad. Mujtahid harus memiliki syarat-syrat untuk bisa melakukan
ijtihad. Karena ijtihad merupakan perbuatan yang sukar lagi berat. Ada sepuluh
syarat yang harus dimiliki oleh seorang mujtahid :
1. Memiliki pengetahuan yang luas tentang
ayat-ayat Al-Qur’an yang berhubungan denagn masalah hukum.
2. Memiliki pengetahuan yang luas tentang
hadits-hadits Nabi yang berhubungan dengan masalah hukum.
3. Menguasai seluruh masalah yang hukumnya
telah ditetapkan oleh ijma’. Hal ini agar keputusan ijtihadnya tidak
bertentangan dengan ijma’.
4. Memiliki pengetahuan yang luas tentang
qiyas dan dapat menerapkannya.
5. Menguasai ilmu logika agar dapat
mengambil kesimpulan dengan benar dan sanggup mempertanggung jawabkannya.
6. Menguasai bahasa Arab secara mendalam.
Karena Al-Qur’an dan hadits tersusun dengan gaya bahasa Arab yang tinggi.
7. Mengetahui pengetahuan yang mendalam
tentang nasikh dan mansukh dalam Al-Qur’an dan hadits. Agar tidak menggunakan
nash yang sudah dinasakh hukumnya.
8. Mengetahui latar belakang turunnya ayat
(asbabun nuzul) dan turunnya hadits agar dapat menggali hukum yang tepat.
9. Mengetahui sejarah para perawi hadits
agar dapat dikeahui mana hadits yang shahih dan yang lemah.
10. Mengetahui kaidah-kaidah istimbad hukum
(ushul fiqh) sehingga mampu mengolah dan menganalisis dalil-dalil hukum
sehingga menghasilkan hukum yang benar.[2]
C. Tingkatan Mujtahid
Dalam kajian hukum Islam, mujtahid
memiliki beberapa peringkat :
1. Mujtahid fi al-syar’i disebut juga
mujtahid mustaqil. Yaitu orang yang membangun suatu madzhab seperti imam
mujtahid yang empat yaitu Imam Abu HAnifah, Maliki, Syafi’I dan Ahmad bin
Hambal.
2. Mujatahid fi al-madzhab yaitu mujtahid
yang tidak membentuk madzhab sendiri tapi mengikuti salah seorang Imam madzhab.
Mujathid fi al-madzhab terkadang menyalahi istihad Imamnya pada beberapa
masalah. Ia berijtihad sendiri tentang masalah itu. Yang termasuk ke dalam mujathid
fi al-madzhab ini seperti : Abu Yusuf dalam madzhab Hanafi dan Al-Muzany dalam
madzhab Syafi’i.
3. Mujtahid fi al-masa’il ialah mujatahid
yang berijtihad hanya pada beberapa masalah dan bukan pada masalah-masalah yang
umum seperti al-Thahawi dalam madzhab Hanafi dan Al-Ghazaly dalam madzhab
Syafi’i serta Al-Khiraqy dsalam madzhab Hambali.
4. Mujtahid muqoyyad yaitu mujtahid yang
mengikat diri dengan pendapat ulama salaf dan mengikuti ijtihad mereka. Hanya
saja mereka mengetahui dasar dan memahami dalalahnya dan inilah yang disebut
dengan takhrij. Mereka mempunyai kesanggupan untuk menentukan mana yang lebih
utama dari pendapat yang berbeda-beda dalam madzhab dan dapat membedakan
riwayat yang kuat dengan yang lemah.[3]
D. Metode Ijtihad
Untuk melakukan ijtihad ada beberapa cara yang dapt
ditempuh oleh seorang mujtahid. Cara-cara itu adalah :
1. Qiyas dengan cara menyamakan hukum
sesuatu dengan hukum yang lain yang sudah ada hukumnya dikarenakan adanya
persamaan sebab. Contoh mencium isteri ketika berpuasa hukumnya tidak
membatalkan puasa karena disamakan dengan berkumur-kumur.
2. Maslahah mursalah yaitu menetapkan hukum
yang sama sekali tidak ada nashnya dengan pertimbangan untuk kepentingan hidup
manusia yang bersendikan kepada asas
menarik manfaat dan menghindari madlarat, contoh mencatat pernikahan.
3. Istihsan yaitu memandang yang lebih baik
sesuai dengan tujuan syari’at. Meninggalkan dalil khusus dan mengamalkan dalil
umum. Contoh boleh menjual harta wakaf karena dengan menjualnya akan tercapai
tujuan syari’at yaitu membuat sesuatu itu tidak mubadzir.
4. Istishab yaitu melangsungkan berlakunya
ketentuan hukum yang ada sampai ketentuan dalil yang mengubahnya. Contoh segala
makanan dan minuman yang tidak ada dalil keharamannya maka hukumnya mubah.
5. Urf yaitu kebiasaan yang sudah mendarah
daging dilakukan oleh suatu kelompok masyarakat. Ada dua macam urf. Pertama urf
shahih yaitu urf yang dapat diterima oleh masyarakat secara luas, dibenarkan
oleh akal yang sehat, membawa kebaikan dan sejalan dengan prinsip nash.
Contohnya acara tahlilan, bagian harta gono-gini untuk istri yang ditinggal
suaminya. Kedua urf fasyid yaitu kebiasaan jelek yang merupakan lawan urf
shahih. Contohnya kebiasaan pengantin meninggalkan shalat, mabuk-mabukan dalam
acara resepsi pernikahan dan sebagainya.[4]
E. Lapangan Ijtihad
Lapangan ijtihad ada dua macam :
1. Ayat atau hadits yang masih mengandung
zhan (dugaan) belum jelas. Seperti tentang membasuh kepala dalam wudlu, hukum
musik dan nyanyian, hukum bersentuhan kulit antara ghairu mahram yang berwudlu,
masalah keberadaan wali dalam pernikahan, hukum membaca qunut dalam shalat
shubuh.
2. Sesuatu yang hukumnya tidak ada nashnya
sama sekali seperti KB, bayi tabung, operasi plastik, alat kontrasepsi, bedah
mayat, menggugurkan kandungan dan sebagainya.
Hasil ijtihad seseorang tidak bisa dibatalakan oleh
ijtihad orang lain dalam perkara yang sama dengan alasan :
1. Ijtihad yang kedua tidaklah lebih kuat
dari ijtihad yang pertama.
2. Ijtihad diantara ulama berhak untuk
diikuti dari yang lainnya.
3. Membatalakan satu ijtihad denag ijtihad
yang lain dapat mengakibatkan tidak tegasnya suatu hukum dan ini merupakan
kesulitan dan kesempitan.[5]
F. Ijtihad yang Mula-Mula
Istilah
ijtihad dalam periode awal dipergunakan dengan pengertian yang lebih sempit dan
lebih khusus dari pada yang kemudian digunakan masa Al-Syafi’i dan di masa
sesudahnya.istilah ini mengandung arti pertimbangan bijaksana yang adil atau
pendapat seorang ahli. Ada satu riwayat mengenai Umar bin Khatab saat bahwa
suatu hari pada bulan Ramadhan, ia mengumumkan tibanya saat berbuka ketika
matahari tampakmya sudah terbenam. Setelah bebrapa saat, ia diberi tahu oarng
bahwa matahari terlihat kembalai di ufuk barat (karena sebenarnya belum
terbenam). Atas hal ini dikabarkan ia menyatakan : “bukan soal yang gawat. Kami
sudah berijtihad (qod ijtihadna)”. Ini merupakan contoh awal penggunan istilah
ini oleh para sahabat dengan artian pertimbangan yang didasarkan pada
kebijaksanaan.
Dalam
awal periode ra’yi (pertimbangan pendapat pribadi) merupakan alat pokok dari
ijtihad. Istilah ini merupakan istilah generik yang mendahului pertumbuhan
hukum dalam prinsip-prinsip qiyas dan istihsan yang lebih sistematis, tetapi ia
terus digunakan bahkan pada qiyas oleh sekelompok yang paling kanan.
Secara
harfiah ra’yi berarti pendapat dan pertimbangan. Tetapi orang-orang Arab telah
mempergunakannya bagi pendapat dan keahlian yang dipertimbangkan dengan baik
dalam menangani urusan yang dihadapi. Seorang yang memiliki persepsi mental dan
pertimbangan yang bijaksana dikenal sebagai dzu ‘I-ra’yi. Lawan kata dari dzu
‘I-ra’yi adalah mufannad, seseorang yang lemah dalam pertimbangan dan tak
bijaksana dalam berpikir. Julukan mufannad diriwayatkan hanya berlaku bagi
laki-laki dan tidak bagi perempuan, karena menurut orang-orang Arab perempuan
tak memiliki ra’yi meskipun di masa mudanya, apa lagi di masa tuanya.[6]
3. ANALISIS
Ijtihad
merupakan salah satu sumber hukum Islam setelah Al-Qur’an dan hadits. Ijtihad
mempunyai peranan yang sangat penting dalam Islam. Ijtihad digunakan untuk
menjelaskan hokum yang belum ada dalil nash dalam Al-Qur’an dan hadits. Karena
permasalahan yang timbul sekarang ini sangat kompleks dan jawabannya tidak
terdapat dalam Al-Qur’an maupun hadits. Oleh Karena itu, ijtihad untuk sekarang
ini merupakan hal yang dharuri (mendesak) untuk dilakukan karena begitu banyak
kasus permasalahan baru yang sifatnya kompleks dan rumit yang memerlukan
jawaban dari hukum Islam.
4. SIMPULAN
Dari pembahasan di atas
dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :
1. Ijtihad adalah mencurahkan segala
kemampuan untuk mengeluarkan hukum
syara’ dari nash (sumber hukum) syara’ yaitu Al-Qur’an dan Hadits.
2. Seorang mujtahid harus memiliki
syarat-syarat untuk bisa melakukan ijtihad, diantaranya mengetahui tenatng
ayat-ayat Al-Qur’an dan hadits yang berhubungan dengan hukum, memiliki
pengetahuan yang luas tentang ijma, dan qiyas, menguasai ilmu logika,
mengetahui nasikh mansukh, mengetahui bahasa Arab secara mendalam, mengetahui
asbabun nuzul dan asbabul wurud, mengetahui sejarah para perawi hadits,
mengetahui kaidah-kaidah istimbad hukum (ushul fiqh).
3. Mujtahid memiliki beberapa tingkatan
yaitu mujtahid fi syar’i, mujtahid fil madzhab, mujtahid fil masa’il dan
mujtahid muqayyad.
4. Ada beberapa cara yang dapat ditempuh
oleh seoarng mujtahid diantaranya qiyas, maslahah mursalah, istihasan, istishab
dan urf.
5. Lapangan ijtihad ada dua yaitu nash yang
masih mengandung zhan (dugaan)belum jelas dan sesuatu yang tidak ada nashnya
sama sekali.
6. Ijtihad yang mula-mula dilakukan oleh
sahabat dipergunakan dengan artian pertimbangan yang didasarkan pada
kebijaksanaan.
DAFTAR PUSTAKA
Hasan, Ahmad, 1994. Pintu Ijtihad
Sebelum Tertutup. Bandung : PUSTAKA.
Saifudin, 1994. Ushul Fiqh.
Yogyakarta : INTI MEDIA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar