Sabtu, 23 November 2013

ISTISHAB

ISTISHAB
MAKALAH
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Ushul Fiqih
Dosen Pengampu Yusuf Fatoni, M.Ag
 




Disusun Oleh:
1.      Ahmad Fauzi              NIM 111001
2.      Khoirul Anwar            NIM 111216
3.      M. Khoirul Fatihin       NIM 111015
4.      Shofiyyatun                 NIM 111022

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM PATI (STAIP)
JURUSAN TARBIYAH
2013



ISTISHAB
A.      PENDAHULUAN
Allah SWT telah mewahyukan Al-Qur’an kepada Nabi Muhammad SAW yang berisi perintah dan larangan untuk menjadi pedoman hidup umat manusia. Barang siapa yang mengikutinya akan selamat di dunia dan akhirat dan bagi manusia yang tidak  menundukkan dirinya kepada aturan  Al-Qur'an akan dimurkai oleh Allah SWT.
Dalam Islam dalil utama yang digunakan oleh fuqaha untuk mengistimbat hukum-hukum adalah Al-Qur'an, bila dalam Al-Quran tidaak diatur atau tidak didapatkan hukum maka dalil berikutnya yang akan digunakan oleh mufassir adalah Al-Hadits. Sekiranya dalam haditspun tidak didapatkan ketentuan-ketentuan hukum yang dikaji maka dalil berikutnya adalah Ijma dan Qiyas.
Al-Qur’an, Hadits, Ijma’ dan Qiyas merupakan dalil-dalil syara’ yang sudah disepakati oleh para jumhur fuqoha untuk menggali hukum-hukum syara’ sebagai jawaban terhadap hukum-hukum yang belum ada ketentuannya. Di samping dalil-dalil syara’ yang sudah disepakati jumhur ulama, ada beberapa dalil-dalil syara’ yang masih diperdebatkan oleh para jumhur ulama’ salah satunya adalah istishab.

B.       RUMUSAN MASALAH
1.         Apakah pengertian istishab?
2.         Apa sajakah macam-macam istishab?
3.         Bagaimanakah kedudukan istishab?
4.         Bagaimanakah perbedaan pendapat Ulama’ tentang istishab?

C.    PEMBAHASAN
1.      Pengertian Istishab
Istishab (الِإسْتِصْحَابُ) menurut etimologi berasal dari kata istishaba dalam sighat istif’al ( اِسْتِفْعَالَ) yang bermakna:  اِسْتِمْرَارُ الصَّحَبَهْ. Kalau kata الصَّحَبَهْ diartikan dengan sahabat atau teman dan اِسْتِمْرَارُ diartikan selalu atau terus menerus, maka istishab secara Lughawi artinya selalu menemani atau selalu menyertai. Atau diartikan dengan minta bersahabat, atau membandingkan sesuatu dan mendekatkannya, atau pengakuan adanya perhubungan atau mencari sesuatu yang ada hubungannya.
Istishhab secara bahasa adalah menyertakan, membawa serta dan tidak melepaskan sesuatu. Jika seseorang mengatakan:
استصحبت الكتاب في سفري
Maka itu artinya aku membuat buku itu ikut serta bersamaku dalam perjalananku.
Menurut Abdul Karim Zaidan, istishab berarti “menganggap tetapnya status sesuatu seperti keadaannya semula selama belum terbukti ada sesuatu yang mengubahnya”.[1]
Definisi yang lain yang senada dengan itu dikemukakan oleh Ibnu al-Qayyim al-Jawziyah yaitu “menetapkan berlakunya suatu hukum yang telah ada atau meniadakan sesuatu yang memang tiada sampai ada bukti yang mengubah kedudukannya”.
Sedangkan menurut Asy-Syaukani menta’rifkan Istishab dengan “tetapnya sesuatu hukum selama tidak ada yang mengubahnya.
2.      Macam-macam Istishab
Muhammad Abu Zahrah menyebutkan empat macam istishab seperti berikut:[2]
a.        Istishab al-ibahah al-ashliyah
Istishab al-ibahah al-ashliyah yaitu istishab yang didasarkan atas hukum asal dari sesuatu yaitu mubah. Istishab semacam ini banyak berperan dalam menetapkan hukum di bidang mu’amalat. Landasannya adalah sebuah prinsip yang mengatakan bahwa hukum dasar dari sesuatu yang bermanfaat boleh dilakukan dalam kehidupan umat manusia selama tidak ada dalil yang melarangnya. Prinsip tersebut berdasarkan surat al-Baqarah ayat 29:
uqèd Ï%©!$# šYn=y{ Nä3s9 $¨B Îû ÇÚöF{$# $YèŠÏJy_ ...... ÇËÒÈ
“Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu....”
Ayat tersebut menegaskan bahwa segala yang ada di bumi dijadikan untuk umat manusia dalam pengertian boleh dimakan makanannya atau boleh dilakukan hal-hal yang membawa manfaat bagi kehidupan.
Contoh:
Makanan, minuman, hewan, tumbuh-tumbuhan dan lain-lain selama tidah ada dalil yang melarangnya adalah halal dimakan atau boleh dikerjakan.
b.        Istishab al-baraah al-ashliyah
Istishab al-baraah al-ashliyah yaitu istishab yang didasarkan atas prinsip bahwa pada dasarnya setiap orang bebas dari tuntutan beban taklif sampai ada dalil yang mengubah statusnya itu, dan bebas dari utang atau kesalahan sampai ada bukti yang mengubah statusnya itu.
Seorang yang menuntut bahwa haknya terdapat pada diri sesorang, ia harus mampu membuktikannya karena pihak tertuduh pada dasarnya bebas dari tuntutan, dan status bebasnya itu tidak bisa diganggu gugat kecuali dengan bukti yang jelas. jadi seseorang dengan prinsip istishab, akan selalu dianggap berada dalam status tidak bersalahnya sampai ada bukti yang mengubah statusnya itu.
c.         Istishab al-hukm
Istishab al-hukm yaitu istishab yang didasarkan atas tetapnya status hukum yang sudah ada selama tidak ada bukti yang mengubahnya. Misalnya, seseorang yang memiliki sebidang tanah atau harta yang bergerak seperti mobil, maka harta miliknya itu tetap dianggap ada selama tidak terbukti dengan peristiwa yang mengubah status hukum itu, seperti dijual atau dihibahkannya kepada pihak lain. Seseorang yang sudah jelas berhutang kepada si fulan, akan selalu dianggap berhutang sampai ada yang mengubahnya, seperti membayarnya sendiri atau pihak yang berpiutang membebaskannya daru utang itu. Seseorang yang jelas telah mengakadkan nikah terhadap seorang wanita, maka wanita itu akan tetap dianggap sebagai istrinya sampai terbukti telah diceraikannya.
d.        Istishab al-wasf
Istishab al-wasf yaitu istishab yang didasarkan atas anggapan masih tetapnya sifat yang diketahui ada sebelumnya sampai ada bukti yang mengubahnya. Misalnya, sifat hidup yang dimiliki seseorang yang hilang tetap dianggap masih ada sampai ada bukti ia telah wafat. Demikian pula air yang diketahui bersih selama tidak ada bukti yang mengubah statusnya itu.

3.         Kedudukan Istishab
Jumhur ulama’ mengatakan bahwa istishab dapat dijadikan pegangan sebagai hujjah, karena dalam sejarah kehidupan manusia sudah terbiasa dan menjadi kekuatan hukum bila berpegang kepada hukum yang berlaku sebelumnya.[3]
Dari prinsip-prinsip ini ditetapkan kaidah-kaidah Fiqih sebagai berikut:
a.         Asal sesuatu itu tetap sebagaimana adanya
الْاَصْلُ بَقَاءُ مَا كَانَ عَلَى مَا كَان
Misalnya hukum asal makanan dan minuman adalah halal
b.        Apa yang telah diyakini adanya, tidak hilang karena adanya keragu-raguan
مَا نَبَتَ بِا لْيَقَيْنِ بِا لشّكِّ
Misalnya seorang yang telah berwudlu kemudian ia ragu-ragu, apakah wudlunya sudah batal atau belum, maka wudlunya tetap ada (tidak batal)
c.         Asal hukum segala sesuatu adalah ibahah (boleh), sampai ada dalil yang mengharuskan mennggalkan hukum tersebut.
الْاَصْلُ فِى اْلاَ شْيَاءِ اْلاِبَاحَةُ
Misalnya hukum akad jual beli itu boleh
4.      Perbedaan pendapat Ulama’ tentang istishab
Para ulama’ ushul fiqih, seperti dikemukakan Muhammad Abu Zahrah, sepakat bahwa tiga macam istishab yang disebut pertama di atas adalah sah dijadikan landasan hukum. Mereka berbeda pendapat pada macam yang ke empat, yaitu istishab al-wasf. Dalam hal ini ada dua pendapat:[4]
a.         Kalangan Hanbaliah Syafi’iyah berpendapat bahwa istishab al-wasf dapat dijadikan landasan secara penuh baik dalam menimbulkan hak yang baru maupun dalam mempertahankan haknya yang sudah ada. Misalnya, seseorang yang hilang tidak tahu tempatnya, tetap dianggap hidup sampai terbukti bahwa ia telah wafat. Oleh karena masih dianggap hidup, maka berlaku baginya segala hal bagi orang hidup, seperti harta dan istrinya masih dianggap kepunyaannya, dan jika ada ahli warisnya yang wafat, maka dia turut mewarisi harta peninggalannya dan kadar pembagiannya langsung dinyatakan sebagai hak miliknya.
b.        Kalangan Hanafiyah dan Malikiyah berpendapat, bahwa istishab al-wasf hanya berlaku untuk mempertahankan haknya yang sudah ada bukan bukan untuk menimbulkan hak yang baru. Dalam contoh di atas, orang yang hilang itu, meskipun ia dianggap masih hidup, yang dengan itu istrinya tetap dianggap sebagai istrinya dan hartanya juga masih berstatus sebagai hak miliknya sebagai orang yang masih hidup, namun jika masih ada ahli warisnya yang wafat, maka khusus kadar pembagiannya harus disimpan dan belum dapat dinyatakan sebagai haknya sampai terbukti ia hidup. Jika terbukti ia telah wafat dan ternyata lebih dulu wafatnya dibandingkan dengan waktu wafat ahli warisnya, maka kadar pembagiannya yang disimpan tersebut dibagi di antara ahli waris yang ada. Alasan mereka karena keadaanyya masih hidup semata-mata didasarkan atas dalil istishab yang berupa dugaan, bukan hidup secara fakta.

D.      KESIMPULAN
Dari pembahasan di atas, dapat ditarik beberapa kesimpulan, diantaranya :
1.         Istishab adalah menetapkan suatu hukum yang telah ada selama belum ada hukum baru yang menggantinya.
2.         Ada 4 macam istishab diantaranya yaitu, istishab al-ibahah al-ashliyah, istishab al-baraah al-ashliyah, istishab al-hukm dan istishab al-wasf.
3.         Kedudukan Istishab
a.         Asal sesuatu itu tetap sebagaimana adanya
b.        Apa yang telah diyakini adanya, tidak hilang karena adanya keragu-raguan
c.         Asal hukum segala sesuatu adalah ibahah (boleh), sampai ada dalil yang mengharuskan mennggalkan hukum tersebut.
4.         Terdapat dua perbedaan mengenai istishab, yaitu terletak pada istishab al-wasf.



DAFTAR PUSTAKA

Effendi, Satria.2009. Ushul Fiqih .Jakarta : KENCANA
Rifa’i, Moh. 1991. Ushul Fiqih untuk Madrasah Aliyah. Semarang : WICAKSANA




[1] Satria Effendi, Ushul Fiqih (Jakarta : KENCANA, 2009) hlm 159
[2] Satria Effendi, Ushul Fiqih (Jakarta : KENCANA, 2009) hlm 160
[3] Moh Rifa’i, Ushul Fiqih untuk Madrasah Aliyah ( Semarang : WICAKSANA, 1991) hlm 62
[4] Satria Effendi, Ushul Fiqih (Jakarta : KENCANA, 2009) hlm 161

Tidak ada komentar:

Posting Komentar