WARISAN BAGI AHLI WARIS YANG MEMPUNYAI
KASUS TERTENTU
MAKALAH
Disusun Untuk Memenuhi Tugas
Mata Kuliah Materi Pendidikan Agama Islam
Dosen pengampu Drs. Mahtub
Disusun Oleh:
1.
Novi
Kartika Dewi NIM 111016
2.
Shofiyyatun NIM 111022
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM PATI (STAIP)
JURUSAN TARBIYAH
2013
WARISAN BAGI AHLI WARIS YANG MEMPUNYAI KASUS
TERTENTU
A.
PENDAHULUAN
Syari’at Islam menetapkan aturan
waris dengan bentuk yang teratur dan adil. Di dalamnya ditetapkan hak
kepemilikan harta bagi setiap manusia, baik laki-laki maupun perempuan dengan
cara yang legal. Syari’at Islam juga menetapkan hak pemindahan kepemilikan
seseorang sesudah meninggal dunia kepada ahli warisnya, dari seluruh kerabat
dan nasabnya, tanpa membedakan antara laki-laki dan perempuan, besar atau
kecil.
Al-Qur’an menjelaskan dan merinci
secara detail hukum-hukum yang berkaitan dengan hak kewarisan tanpa mengabaikan
hak seorangpun. Oleh karena itu, Al-Qur’an merupakan acuan utama hukum dan
penentuan pembagian waris, sedangkan ketetapan tentang kewarisan yang diambil
dari hadits Rasulullah SAW. dan ijma’ para ulama sangat sedikit. Dapat
dikatakan bahwa dalam hukum dan syari’at islam sedikit sekali ayat Al-Qur’an
yang merinci suatu hukum secara detail dan rinci, kecuali hukum waris ini. Hal
demikian disebabkan kewarisan merupakan salah satu bentuk kepemilikan yang
legal dan dibenarkan Allah SWT. di samping bahwa harta merupakan tonggak
penegak kehidupan baik bagi individu maupun kelompok masyarakat.
B.
RUMUSAN MASALAH
1.
Apakah
pengertian mawaris?
2.
Bagaimanakah
hukum mempelajari ilmu mawaris?
3.
Bagaimanakah
hukum membagi harta warisan?
4.
Apa
sajakah tujuan ilmu mawaris?
5.
Apa
sajakah hak-hak yang wajib ditunaikan sebelum warisan dibagikan?
6.
Apa
sajakah yang menjadi sebab-sebab mewarisi?
7.
Apa
sajakah halangan waris mewarisi?
8.
Bagaimanakah
hikmah mawaris?
9.
Bagaimanakah
warisan bagi ahli waris yang mempunyai kasus tertentu?
C.
PEMBAHASAN
1.
Pengertian Mawaris
Mawaris menurut syara’ adalah ilmu yang membahas tentang
hal-hal yang berkaitan dengan pembagian harta peninggalan (harta warisan). Ilmu
mawaris disebut juga ilmu faraid karena membahas ketentuan-ketentuan atau
bagian-bagian yang telah ditentukan terhadap ahli waris.
وَامّاَ فِى الشَّرْعِ فَالْفَرْضُ نَصِيْبٌ مُقَدَّرٌ شَرْعًا لِمُسْتَحِقِّهِ
“Adapun faraid menurut syara’ adalah bagian
tertentu yang telah ditetapkan oleh syara’ bagi yang berhak (ahli waris). [1]
2.
Hukum Mempelajari Ilmu Mawaris
اَلْاَصْلُ فِى اْلاَمْرِ لِلْوُجُوْبِ
“Asal hukum perintah adalah wajib.”[2]
Pengertian wajib di sini adalah fardhu kifayah, yakni apabila dalam
suatu daerah ada salah seorang yang mempelajari ilmu ini, maka yang lain sudah
gugur kewajibannya lagi.
3.
Hukum Membagi Harta Warisan
Syari’at islam yang diterangkan dalam al-Qur’an dan al-Hadits harus
diikuti dan dijalankan, selama tidak ada nash lain yang menyalin (mengganti).
Demikian juga syari’at islam tentang mawaris juga harus dijalankan. Rasulullah
SAW. memerintahkan agar kita membagi
harta warisan menurut kitab al-Qur’an sesuai sabdanya:[3]
اَقْسِمُوا اْلمَالَ بَيْنَ اْلفَرَائِضِ عَلَى كِتَابِ اللهِ . رواه
مسلم وابوداود
“Bagilah harta warisan antara ahli-ahli
waris menurut kitab Allah (al-Qur’an).”
4.
Tujuan Ilmu Mawaris
a.
Agar
dapat melaksanakan pembagian harta warisan kepada ahli waris yang berhak
menerimanya sesuai dengan syari’at islam.
b.
Agar
diketahui secara jelas siapa orang yang berhak menerima harta warisan dan
berapa bagian masing-masing.
c.
Menentukan
pembagian harta warisan secara adil dan benar.
5.
Hak-hak yang Wajib Ditunaikan Sebelum Warisan Dibagikan
a.
Biaya
perawatan jenazah.
b.
Pelunasan
hutang (wafa’ al Duyun).
c.
Pelaksanaan
wasiat.[4]
6.
Sebab-sebab Waris Mewarisi
a.
Sebab
nashab (hubungan kerabat)
(#qä9'ré&ur ÏQ%tnöF{$# öNåkÝÕ÷èt/ 4n<÷rr& <Ù÷èt7Î/ Îû É=»tFÏ. «!$# ÇÐÎÈ
“Orang-orang yang mempunyai hubungan
kerabat itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamamu daripada yang bukan
kerabat di dalam kitab Allah.” (Al-anfaal :75)
b.
Sebab
hubungan pernikahan yang sah
öNà6s9ur ß#óÁÏR $tB x8ts? öNà6ã_ºurør& ÇÊËÈ
“Untuk kamu (suami) separuh dari
harta yang ditinggalkan olehb istri-istri kamu.” (an-nisa’ :12)
c.
Sebab
wala (sebab jalan memerdekakan budak)
اْلْوَلَاءُ
لَحْمَةٌ كلَحْمَةِ الْنَّسَبِ. رواه ابن حبان والحاكم
“Wala itu sebagai keluarga karena nasab.”
d.
Sebab
kesamaan agama
Apabila ada orang islam yang
meninggal dunia sedangkan ia tidak mempunyai ahli waris (baik yang sebab nasab,
nikah maupun wala’) marka harta warisan peninggalannya diserahkan kepada baitul
mal untuk umat islam. Sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW.:
أنَا
وَارِثٌ مَنْ لَا وَارِثَ لَهُ. رواه احمد وابو داود
“Saya adalah ahli waris bagi orang
yang tidak mempunyai ahli waris”
7.
Halangan waris mewarisi
a. Pembunuh
لَيْسَ
لِلْقَاتِلِ منَ الْمِيْرَاثِ شَيْءٌ. رواه النسا ئى
“Tidak berhak mendapatkan harta warisan sedikitpun seorang
yang membunuh.”
b.
Budak
Seorang budak tidak berhak untuk
mendapatkan harta warisan dari tuannya, begitu juga sebaliknya. Sebagaimana
firman Allah SWT.:
z>uÑ ª!$# ¸xsVtB #Yö6tã %Z.qè=ôJ¨B w âÏø)t 4n?tã &äóÓx« ÇÐÎÈ
“Allah telah membuat perumpamaan
seorang hamba yang dimiliki, yang tidak berkuasa atas sesuatu.” (an-Nahl : 75)
c.
Perbedaan
agama
لاَيَرِثُ
الْمُسْلِمُ الْكَافِرَ وَلَا يَرِسُ الْكَافِرُ الْمُسْلِمَ . متفق عليه
“Orang islam tidak dapat mewarisi harta warisan dari orang
kafir, dan orang kafir tidak bisa mendapatkan harta warisan dari orang islam.”[5]
d.
Berbeda
negara
Yang dimaksud berbeda negara adalah
berbeda kebangsaannya.
8.
Hikmah mawaris
a.
Dapat
memahami hukum-hukum Allah yang berkaitan dengan pembagian harta warisan.
b.
Untuk
mewujudkan kemaslahatan anggota keluarga di dalam hidup bermasyarakat.[6]
c.
Mewujudkan
hubungan kasih sayang antar keluarga untuk menanggung dan saling menolong dalam
kehidupan sesama keluarga.
d.
Membersihkan
masalah harta pada seseorang yang bukan haknya.
9.
Warisan bagi ahli waris yang mempunyai kasus tertentu
a.
Warisan
anak yang masih dalam kandungan
Mayoritas Ulama
berpendapat, bahwa bayi dalam kandungan dapat menerima hak-hak warisnya apabila
bayi lahir dalam keadaan hidup. Sebagaimana riwayat dari Abu Hurairah ra. yang
menyatakan bahwa Rasulullah SAW. bersabda:[7]
اِذَا اسْتَهَلَّ الْمَوْلُوْدُ وَرِثَ . رواه اصحاب السنن
“Apabila bayi yang dilahirkan itu berteriak, maka ia diberi bagian warisan.”
لاَيَرِثُ الصَّبِيُّ حَتَّى يَسْتَهِلَّ . رواه احمد
“ Bayi tidak bisa menerima bagian warisan
sehingga ia berteriak (menangis).”
Para Ulama sepakat bahwa batas minimal usia
bayi dalam kandungan adalah 6 bulan dihitung dari saat akad nikah
dilangsungkan. Dasarnya firman Allah SWT:
¼çmè=÷Hxqur ¼çmè=»|ÁÏùur tbqèW»n=rO #·öky 4 ..... ÇÊÎÈ
“...mengandungnya
sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan...” (al-Ahqof :15)
çm÷Fn=uHxq ¼çmBé& $·Z÷dur 4n?tã 9`÷dur ¼çmè=»|ÁÏùur Îû Èû÷ütB%tæ ÇÊÍÈ
“...ibunya
telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambab-tambab dan menyapihnya
dalam 2 tahun....” (luqman :14)
Adapun mazhab
Syafi’i dan Maliki berpendapat bahwa masa janin dalam kandungan maksimal empat
tahun.[8]
b.
Warisan
anak zina
Anak zina yaitu
anak yang lahir di luar perkawinan yang sah menurut ketentuan agama Islam.
Status hukum bayi yang lahir akibat perzinaan, tidak bisa dinasabkan kepada
bapaknya.
Imam Hanafi
berpendapat bahwa wanita yang melahirkan itu tetap dianggap dalam ranjang
suaminya. Karena itu, anak yang dilahirkan dapat dipertalikan nasabnya kepada
ayahnya sebagai anak sah.
Dasar hukum
yang digunakan adalah sabda Rasulullah SAW:
اَلْوَلَدُ لِلْفِرَاسِ . رواه الحمسة
“Anak itu
dinasabkan kepada orang yang seranjang tidur”
Menurut Imam
Syafi’i dan Imam Maliki, anak zina tidak bisa mewarisi ayahnya, karena status
hukumnya tidak ada hubungan nasab di antara mereka. Anak zina hanya bisa
mewarisi harta peninggalan ibunya, dan saudara-saudaranya yang seibu. [9]
c.
Warisan
anak li’an
Li’an adalah
sumpah seorang suami yang menuduh isterinya berbuat zina, ia akan mendapat
laknat Allah SWT., apabila tuduhan terhadap isterinya tersebut tidak benar.
Apabila tuduhan tersebut benar dan kemudian isterinya melahirkan anak, maka
anak tersebut dinamakan anak li’an. Status hukum anak li’an sama dengan anak
zina, sebagaimana sabda Nabi SAW:[10]
جَعَلَ
رسولُ الله ص.م. ميراثَ ابنِ المُلاعَنَةِ لِاُمِهِ وَلِوَرَثَتِهَا مِنْ بَعْدِهَا
. رواه ابو داود
“Rasulullah
SAW. menjadikan hak waris anak li’an kepada ibunya dan ahli waris ibu
sesudahnya.”
d.
Warisan
orang yang hilang
Yang dimaksud
hilang di sini adalah orang yang tidak lagi diketahui keberadaannya dalam
jangka waktu yang relatif lama. Tidak diketahui beritanya di mana tempat
tinggalnya dan tidak diketahui apakah ia masih hidup atau sudah meninggal.
1). Apabila kedudukannya sebagai muwarrits
a).
Harta orang yang hilang ditunggu sampai ada kepastian keberadaannya, atau ada
kepastian hidup dan matinya.
b). Ditunggu sampai batas usia manusia pada
umumnya. Menurut Abdul Hakim ditunggu sampai batas usia kurang lebih 70th.
2).
Apabila kedudukannya sebagai ahli waris maka harta warisan dibagikan, dan dia
(sebagai orang yang hilang) diberikan bagian sebagai mana bagian mestinya. Jika
dia masih hidup dan datang, maka bagiannya itu diserahkan. Kalau ternyata sudah
meninggal, maka bagiannya diserahkan kepada ahli waris lain yang berhak.
e.
Warisan
orang banci
Banci atau
dalam istilah fiqh al-khunsa adalah orang-orang yang mempunyai alat
kelamin laki-laki dan kelamin perempuan, atau bahkan tidak mempunyai alat
kelamin sama sekali. Nabi SAW. ketika beliau menimang anak banci orang anshar
dan ditanya tentang hak warisnya, beliau menjawab : “berikanlah anak khunsa ini
(seperti bagian anak laki-laki atau perempuan) mengingat alat kelamin mana yang
pertama kali digunakan buang air kecil”.
وَرَّثُوْا مِنْ اَوَّلِ مَا يضبُولُ . روهابن عباس
“berikanlah warisan memnurut kelamin mana
ia buang air kecil”.[11]
Hak waris yang
diberikan kepada banci hendaklah yang paling sedikit di antara dua keadaannya,
bila ia sebagai laki-laki dan sebagai wanita. Makna pemberian hak banci dengan
bagian paling sedikit menurut kalangan fuqoha, yaitu apabila banci dinilai
sebagai wanita bagiannya lebih sedikit, maka hak waris yang diberikan kepadanya
adalah hak waris wanita; dan bila dinilai sebagai laki-laki dan bagiannya lebih
sedikit, maka divonis sebagai laki-laki. Bahkan apabila ternyata dalam keadaan
diantara kedua-duanya status harus ditiadakan haknya, maka diputuskan bahwa banci
tidak mendapatkan hak waris.
Bahkan dalam
mahdzab Imam Syafi’i, bila dalam suatu keadaan salah seorang dari ahli waris
gugur haknya dikarenakan adanya banci dalam salah satu dari dua status (yakni
sebagai laki-laki atau wanita), maka gugurkah hak warisnya.[12]
D.
KESIMPULAN
Dari pembahasan di atas dapat ditarik beberapa kesimpulan
diantaranya:
1.
Mawaris
menurut syara’ adalah ilmu yang membahas tentang hal-hal
yang berkaitan dengan pembagian harta peninggalan (harta warisan).
2.
Hukum
mempelajari ilmu mawaris adalah fardhu kifayah, dan hukum membagi harta warisan
sesuai yang diterangkan dalam al-Qur’an
dan al-Hadits harus diikuti dan dijalankan.
3.
Tujuan
Ilmu Mawaris
a.
Agar
dapat melaksanakan pembagian harta warisan kepada ahli waris yang berhak
menerimanya sesuai dengan syari’at islam.
b.
Agar
diketahui secara jelas siapa orang yang berhak menerima harta warisan dan
berapa bagian masing-masing.
c.
Menentukan
pembagian harta warisan secara adil dan benar
4.
Hak-hak
yang wajib ditunaikan sebelum warisan dibagikan antara lain biaya perawatan
jenazah, pelunasan hutang dan pelaksanaan wasiat.
5.
Sebab-sebab
waris mewarisi yaitu sebab nasab, pernikahan yang sah, wala’ dan sebab kesamaan
agama.
6.
Halangan
waris mewarisi yaitu pembunuh, budak, berbeda agama dan negara.
7.
Hikmah
mawaris antara lain:
a.
Dapat
memahami hukum-hukum Allah yang berkaitan dengan pembagian harta warisan.
b.
Untuk
mewujudkan kemaslahatan anggota keluarga di dalam hidup bermasyarakat.
c.
Mewujudkan
hubungan kasih sayang antar keluarga untuk menanggung dan saling menolong dalam
kehidupan sesama keluarga.
d.
Membersihkan
masalah harta pada seseorang yang bukan haknya.
8.
Warisan
bagi ahli waris yang mempunyai kasus tertentu diantaranya warisan anak yang
masih dalam kandungan, warisan anak zina, warisan anak li’an, warisan orang
yang hilang dan warisan orang banci.
DAFTAR PUSTAKA
Ash-Shabuni,
Muhammad Ali. 1995. Pembagian Waris Menurut Islam (Jakarta: Gema Insani Press)
Departemen Agama Jateng. 2004, FIQIH (Semarang : CV GANI & SON)
Muhammad Syah,
Ismail 1992. Filsafat Hukum Islam (Jakarta: Bumi Aksara) Sabiq,
Sayyid. 1987. FIQIH SUNNAH 14 ( Bandung: PT. Alma’arif)
Supiana, 2001.
Materi Pendidikan Agama Islam (Bandung : PT Remaja Rosdakarya)
Zaenudin, Djedjen
dan Mundzier Suparta.2009, Fiqh (Semarang : PT. Karya Toha Putra)
[1] Departemen
Agama Jateng, FIQIH (Semarang : CV GANI & SON, 2004) hlm 77
[2] Djedjen
Zaenudin, Mundzier Suparta, Fiqh (Semarang : PT. Karya Toha Putra, 2008)
hlm 102
[3] Depag jateng, op.cit, hlm 78
[4] Supiana, Materi
Pendidikan Agama Islam (Bandung : PT Remaja Rosdakarya, 2001) hlm144
[5] Sayyid Sabiq, FIQIH
SUNNAH 14 ( Bandung: PT. Alma’arif, 1987) hlm261
[6] Ismail
Muhammad Syah, Filsafat Hukum Islam (Jakarta: Bumi Aksara, 1992) hlm 235
[7]
Ahmad Rofiq, Fiqih
Mawaris (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2001) hlm 147
[8]
Muhammad Ali
Ash-Shabuni, Pembagian Waris Menurut Islam (Jakarta: Gema Insani Press,
1995) hlm 166
[9] Ahmad Rofiq,
op.cit, hlm 160
[10] Ibid, hlm 163
[11] Ibid, hlm 171
[12] Muhammad Ali
Ash-Shabuni, op.cit, hlm 163
Tidak ada komentar:
Posting Komentar