Sabtu, 23 November 2013

ISTISHAB

ISTISHAB
MAKALAH
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Ushul Fiqih
Dosen Pengampu Yusuf Fatoni, M.Ag
 




Disusun Oleh:
1.      Ahmad Fauzi              NIM 111001
2.      Khoirul Anwar            NIM 111216
3.      M. Khoirul Fatihin       NIM 111015
4.      Shofiyyatun                 NIM 111022

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM PATI (STAIP)
JURUSAN TARBIYAH
2013



ISTISHAB
A.      PENDAHULUAN
Allah SWT telah mewahyukan Al-Qur’an kepada Nabi Muhammad SAW yang berisi perintah dan larangan untuk menjadi pedoman hidup umat manusia. Barang siapa yang mengikutinya akan selamat di dunia dan akhirat dan bagi manusia yang tidak  menundukkan dirinya kepada aturan  Al-Qur'an akan dimurkai oleh Allah SWT.
Dalam Islam dalil utama yang digunakan oleh fuqaha untuk mengistimbat hukum-hukum adalah Al-Qur'an, bila dalam Al-Quran tidaak diatur atau tidak didapatkan hukum maka dalil berikutnya yang akan digunakan oleh mufassir adalah Al-Hadits. Sekiranya dalam haditspun tidak didapatkan ketentuan-ketentuan hukum yang dikaji maka dalil berikutnya adalah Ijma dan Qiyas.
Al-Qur’an, Hadits, Ijma’ dan Qiyas merupakan dalil-dalil syara’ yang sudah disepakati oleh para jumhur fuqoha untuk menggali hukum-hukum syara’ sebagai jawaban terhadap hukum-hukum yang belum ada ketentuannya. Di samping dalil-dalil syara’ yang sudah disepakati jumhur ulama, ada beberapa dalil-dalil syara’ yang masih diperdebatkan oleh para jumhur ulama’ salah satunya adalah istishab.

B.       RUMUSAN MASALAH
1.         Apakah pengertian istishab?
2.         Apa sajakah macam-macam istishab?
3.         Bagaimanakah kedudukan istishab?
4.         Bagaimanakah perbedaan pendapat Ulama’ tentang istishab?

C.    PEMBAHASAN
1.      Pengertian Istishab
Istishab (الِإسْتِصْحَابُ) menurut etimologi berasal dari kata istishaba dalam sighat istif’al ( اِسْتِفْعَالَ) yang bermakna:  اِسْتِمْرَارُ الصَّحَبَهْ. Kalau kata الصَّحَبَهْ diartikan dengan sahabat atau teman dan اِسْتِمْرَارُ diartikan selalu atau terus menerus, maka istishab secara Lughawi artinya selalu menemani atau selalu menyertai. Atau diartikan dengan minta bersahabat, atau membandingkan sesuatu dan mendekatkannya, atau pengakuan adanya perhubungan atau mencari sesuatu yang ada hubungannya.
Istishhab secara bahasa adalah menyertakan, membawa serta dan tidak melepaskan sesuatu. Jika seseorang mengatakan:
استصحبت الكتاب في سفري
Maka itu artinya aku membuat buku itu ikut serta bersamaku dalam perjalananku.
Menurut Abdul Karim Zaidan, istishab berarti “menganggap tetapnya status sesuatu seperti keadaannya semula selama belum terbukti ada sesuatu yang mengubahnya”.[1]
Definisi yang lain yang senada dengan itu dikemukakan oleh Ibnu al-Qayyim al-Jawziyah yaitu “menetapkan berlakunya suatu hukum yang telah ada atau meniadakan sesuatu yang memang tiada sampai ada bukti yang mengubah kedudukannya”.
Sedangkan menurut Asy-Syaukani menta’rifkan Istishab dengan “tetapnya sesuatu hukum selama tidak ada yang mengubahnya.
2.      Macam-macam Istishab
Muhammad Abu Zahrah menyebutkan empat macam istishab seperti berikut:[2]
a.        Istishab al-ibahah al-ashliyah
Istishab al-ibahah al-ashliyah yaitu istishab yang didasarkan atas hukum asal dari sesuatu yaitu mubah. Istishab semacam ini banyak berperan dalam menetapkan hukum di bidang mu’amalat. Landasannya adalah sebuah prinsip yang mengatakan bahwa hukum dasar dari sesuatu yang bermanfaat boleh dilakukan dalam kehidupan umat manusia selama tidak ada dalil yang melarangnya. Prinsip tersebut berdasarkan surat al-Baqarah ayat 29:
uqèd Ï%©!$# šYn=y{ Nä3s9 $¨B Îû ÇÚöF{$# $YèŠÏJy_ ...... ÇËÒÈ
“Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu....”
Ayat tersebut menegaskan bahwa segala yang ada di bumi dijadikan untuk umat manusia dalam pengertian boleh dimakan makanannya atau boleh dilakukan hal-hal yang membawa manfaat bagi kehidupan.
Contoh:
Makanan, minuman, hewan, tumbuh-tumbuhan dan lain-lain selama tidah ada dalil yang melarangnya adalah halal dimakan atau boleh dikerjakan.
b.        Istishab al-baraah al-ashliyah
Istishab al-baraah al-ashliyah yaitu istishab yang didasarkan atas prinsip bahwa pada dasarnya setiap orang bebas dari tuntutan beban taklif sampai ada dalil yang mengubah statusnya itu, dan bebas dari utang atau kesalahan sampai ada bukti yang mengubah statusnya itu.
Seorang yang menuntut bahwa haknya terdapat pada diri sesorang, ia harus mampu membuktikannya karena pihak tertuduh pada dasarnya bebas dari tuntutan, dan status bebasnya itu tidak bisa diganggu gugat kecuali dengan bukti yang jelas. jadi seseorang dengan prinsip istishab, akan selalu dianggap berada dalam status tidak bersalahnya sampai ada bukti yang mengubah statusnya itu.
c.         Istishab al-hukm
Istishab al-hukm yaitu istishab yang didasarkan atas tetapnya status hukum yang sudah ada selama tidak ada bukti yang mengubahnya. Misalnya, seseorang yang memiliki sebidang tanah atau harta yang bergerak seperti mobil, maka harta miliknya itu tetap dianggap ada selama tidak terbukti dengan peristiwa yang mengubah status hukum itu, seperti dijual atau dihibahkannya kepada pihak lain. Seseorang yang sudah jelas berhutang kepada si fulan, akan selalu dianggap berhutang sampai ada yang mengubahnya, seperti membayarnya sendiri atau pihak yang berpiutang membebaskannya daru utang itu. Seseorang yang jelas telah mengakadkan nikah terhadap seorang wanita, maka wanita itu akan tetap dianggap sebagai istrinya sampai terbukti telah diceraikannya.
d.        Istishab al-wasf
Istishab al-wasf yaitu istishab yang didasarkan atas anggapan masih tetapnya sifat yang diketahui ada sebelumnya sampai ada bukti yang mengubahnya. Misalnya, sifat hidup yang dimiliki seseorang yang hilang tetap dianggap masih ada sampai ada bukti ia telah wafat. Demikian pula air yang diketahui bersih selama tidak ada bukti yang mengubah statusnya itu.

3.         Kedudukan Istishab
Jumhur ulama’ mengatakan bahwa istishab dapat dijadikan pegangan sebagai hujjah, karena dalam sejarah kehidupan manusia sudah terbiasa dan menjadi kekuatan hukum bila berpegang kepada hukum yang berlaku sebelumnya.[3]
Dari prinsip-prinsip ini ditetapkan kaidah-kaidah Fiqih sebagai berikut:
a.         Asal sesuatu itu tetap sebagaimana adanya
الْاَصْلُ بَقَاءُ مَا كَانَ عَلَى مَا كَان
Misalnya hukum asal makanan dan minuman adalah halal
b.        Apa yang telah diyakini adanya, tidak hilang karena adanya keragu-raguan
مَا نَبَتَ بِا لْيَقَيْنِ بِا لشّكِّ
Misalnya seorang yang telah berwudlu kemudian ia ragu-ragu, apakah wudlunya sudah batal atau belum, maka wudlunya tetap ada (tidak batal)
c.         Asal hukum segala sesuatu adalah ibahah (boleh), sampai ada dalil yang mengharuskan mennggalkan hukum tersebut.
الْاَصْلُ فِى اْلاَ شْيَاءِ اْلاِبَاحَةُ
Misalnya hukum akad jual beli itu boleh
4.      Perbedaan pendapat Ulama’ tentang istishab
Para ulama’ ushul fiqih, seperti dikemukakan Muhammad Abu Zahrah, sepakat bahwa tiga macam istishab yang disebut pertama di atas adalah sah dijadikan landasan hukum. Mereka berbeda pendapat pada macam yang ke empat, yaitu istishab al-wasf. Dalam hal ini ada dua pendapat:[4]
a.         Kalangan Hanbaliah Syafi’iyah berpendapat bahwa istishab al-wasf dapat dijadikan landasan secara penuh baik dalam menimbulkan hak yang baru maupun dalam mempertahankan haknya yang sudah ada. Misalnya, seseorang yang hilang tidak tahu tempatnya, tetap dianggap hidup sampai terbukti bahwa ia telah wafat. Oleh karena masih dianggap hidup, maka berlaku baginya segala hal bagi orang hidup, seperti harta dan istrinya masih dianggap kepunyaannya, dan jika ada ahli warisnya yang wafat, maka dia turut mewarisi harta peninggalannya dan kadar pembagiannya langsung dinyatakan sebagai hak miliknya.
b.        Kalangan Hanafiyah dan Malikiyah berpendapat, bahwa istishab al-wasf hanya berlaku untuk mempertahankan haknya yang sudah ada bukan bukan untuk menimbulkan hak yang baru. Dalam contoh di atas, orang yang hilang itu, meskipun ia dianggap masih hidup, yang dengan itu istrinya tetap dianggap sebagai istrinya dan hartanya juga masih berstatus sebagai hak miliknya sebagai orang yang masih hidup, namun jika masih ada ahli warisnya yang wafat, maka khusus kadar pembagiannya harus disimpan dan belum dapat dinyatakan sebagai haknya sampai terbukti ia hidup. Jika terbukti ia telah wafat dan ternyata lebih dulu wafatnya dibandingkan dengan waktu wafat ahli warisnya, maka kadar pembagiannya yang disimpan tersebut dibagi di antara ahli waris yang ada. Alasan mereka karena keadaanyya masih hidup semata-mata didasarkan atas dalil istishab yang berupa dugaan, bukan hidup secara fakta.

D.      KESIMPULAN
Dari pembahasan di atas, dapat ditarik beberapa kesimpulan, diantaranya :
1.         Istishab adalah menetapkan suatu hukum yang telah ada selama belum ada hukum baru yang menggantinya.
2.         Ada 4 macam istishab diantaranya yaitu, istishab al-ibahah al-ashliyah, istishab al-baraah al-ashliyah, istishab al-hukm dan istishab al-wasf.
3.         Kedudukan Istishab
a.         Asal sesuatu itu tetap sebagaimana adanya
b.        Apa yang telah diyakini adanya, tidak hilang karena adanya keragu-raguan
c.         Asal hukum segala sesuatu adalah ibahah (boleh), sampai ada dalil yang mengharuskan mennggalkan hukum tersebut.
4.         Terdapat dua perbedaan mengenai istishab, yaitu terletak pada istishab al-wasf.



DAFTAR PUSTAKA

Effendi, Satria.2009. Ushul Fiqih .Jakarta : KENCANA
Rifa’i, Moh. 1991. Ushul Fiqih untuk Madrasah Aliyah. Semarang : WICAKSANA




[1] Satria Effendi, Ushul Fiqih (Jakarta : KENCANA, 2009) hlm 159
[2] Satria Effendi, Ushul Fiqih (Jakarta : KENCANA, 2009) hlm 160
[3] Moh Rifa’i, Ushul Fiqih untuk Madrasah Aliyah ( Semarang : WICAKSANA, 1991) hlm 62
[4] Satria Effendi, Ushul Fiqih (Jakarta : KENCANA, 2009) hlm 161

Warisan Bagi Ahli Waris yg Mempunyai Kasus Tertentu

WARISAN BAGI AHLI WARIS YANG MEMPUNYAI
KASUS TERTENTU
MAKALAH
Disusun Untuk Memenuhi Tugas
Mata Kuliah Materi Pendidikan Agama Islam
Dosen pengampu Drs. Mahtub









Disusun Oleh:
1.      Novi Kartika Dewi     NIM 111016
2.      Shofiyyatun                NIM 111022
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM PATI (STAIP)
JURUSAN TARBIYAH
2013
WARISAN BAGI AHLI WARIS YANG MEMPUNYAI KASUS
 TERTENTU
A.    PENDAHULUAN
Syari’at Islam menetapkan aturan waris dengan bentuk yang teratur dan adil. Di dalamnya ditetapkan hak kepemilikan harta bagi setiap manusia, baik laki-laki maupun perempuan dengan cara yang legal. Syari’at Islam juga menetapkan hak pemindahan kepemilikan seseorang sesudah meninggal dunia kepada ahli warisnya, dari seluruh kerabat dan nasabnya, tanpa membedakan antara laki-laki dan perempuan, besar atau kecil.
Al-Qur’an menjelaskan dan merinci secara detail hukum-hukum yang berkaitan dengan hak kewarisan tanpa mengabaikan hak seorangpun. Oleh karena itu, Al-Qur’an merupakan acuan utama hukum dan penentuan pembagian waris, sedangkan ketetapan tentang kewarisan yang diambil dari hadits Rasulullah SAW. dan ijma’ para ulama sangat sedikit. Dapat dikatakan bahwa dalam hukum dan syari’at islam sedikit sekali ayat Al-Qur’an yang merinci suatu hukum secara detail dan rinci, kecuali hukum waris ini. Hal demikian disebabkan kewarisan merupakan salah satu bentuk kepemilikan yang legal dan dibenarkan Allah SWT. di samping bahwa harta merupakan tonggak penegak kehidupan baik bagi individu maupun kelompok masyarakat.
B.     RUMUSAN MASALAH
1.      Apakah pengertian mawaris?
2.      Bagaimanakah hukum mempelajari ilmu mawaris?
3.      Bagaimanakah hukum membagi harta warisan?
4.      Apa sajakah tujuan ilmu mawaris?
5.      Apa sajakah hak-hak yang wajib ditunaikan sebelum warisan dibagikan?
6.      Apa sajakah yang menjadi sebab-sebab mewarisi?
7.      Apa sajakah halangan waris mewarisi?
8.      Bagaimanakah hikmah mawaris?
9.      Bagaimanakah warisan bagi ahli waris yang mempunyai kasus tertentu?

C.    PEMBAHASAN
1.      Pengertian Mawaris
Mawaris menurut syaraadalah ilmu yang membahas tentang hal-hal yang berkaitan dengan pembagian harta peninggalan (harta warisan). Ilmu mawaris disebut juga ilmu faraid karena membahas ketentuan-ketentuan atau bagian-bagian yang telah ditentukan terhadap ahli waris.
وَامّاَ فِى الشَّرْعِ فَالْفَرْضُ نَصِيْبٌ مُقَدَّرٌ شَرْعًا لِمُسْتَحِقِّهِ
Adapun faraid menurut syara’ adalah bagian tertentu yang telah ditetapkan oleh syara’ bagi yang berhak (ahli waris). [1]
2.      Hukum Mempelajari Ilmu Mawaris
اَلْاَصْلُ فِى اْلاَمْرِ لِلْوُجُوْبِ
Asal hukum perintah adalah wajib.”[2]
Pengertian wajib di sini adalah fardhu kifayah, yakni apabila dalam suatu daerah ada salah seorang yang mempelajari ilmu ini, maka yang lain sudah gugur kewajibannya lagi.
3.      Hukum Membagi Harta Warisan
Syari’at islam yang diterangkan dalam al-Qur’an dan al-Hadits harus diikuti dan dijalankan, selama tidak ada nash lain yang menyalin (mengganti). Demikian juga syari’at islam tentang mawaris juga harus dijalankan. Rasulullah SAW. memerintahkan  agar kita membagi harta warisan menurut kitab al-Qur’an sesuai sabdanya:[3]
اَقْسِمُوا اْلمَالَ بَيْنَ اْلفَرَائِضِ عَلَى كِتَابِ اللهِ . رواه مسلم وابوداود
Bagilah harta warisan antara ahli-ahli waris menurut kitab Allah (al-Qur’an).”
4.      Tujuan Ilmu Mawaris
a.       Agar dapat melaksanakan pembagian harta warisan kepada ahli waris yang berhak menerimanya sesuai dengan syari’at islam.
b.      Agar diketahui secara jelas siapa orang yang berhak menerima harta warisan dan berapa bagian masing-masing.
c.       Menentukan pembagian harta warisan secara adil dan benar.
5.      Hak-hak yang Wajib Ditunaikan Sebelum Warisan Dibagikan
a.       Biaya perawatan jenazah.
b.      Pelunasan hutang (wafa’ al Duyun).
c.       Pelaksanaan wasiat.[4]
6.      Sebab-sebab Waris Mewarisi
a.       Sebab nashab (hubungan kerabat)
(#qä9'ré&ur ÏQ%tnöF{$# öNåkÝÕ÷èt/ 4n<÷rr& <Ù÷èt7Î/ Îû É=»tFÏ. «!$#  ÇÐÎÈ
“Orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamamu daripada yang bukan kerabat di dalam kitab Allah.” (Al-anfaal :75)
b.      Sebab hubungan pernikahan yang sah
öNà6s9ur ß#óÁÏR $tB x8ts? öNà6ã_ºurør& ÇÊËÈ
Untuk kamu (suami) separuh dari harta yang ditinggalkan olehb istri-istri kamu.” (an-nisa’ :12)
c.       Sebab wala (sebab jalan memerdekakan budak)
اْلْوَلَاءُ لَحْمَةٌ كلَحْمَةِ الْنَّسَبِ. رواه ابن حبان والحاكم
Wala itu sebagai keluarga karena nasab.”
d.      Sebab kesamaan agama
Apabila ada orang islam yang meninggal dunia sedangkan ia tidak mempunyai ahli waris (baik yang sebab nasab, nikah maupun wala’) marka harta warisan peninggalannya diserahkan kepada baitul mal untuk umat islam. Sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW.:
أنَا وَارِثٌ مَنْ لَا وَارِثَ لَهُ. رواه احمد وابو داود
“Saya adalah ahli waris bagi orang yang tidak mempunyai ahli waris”
7.      Halangan waris mewarisi
a.       Pembunuh
لَيْسَ لِلْقَاتِلِ منَ الْمِيْرَاثِ شَيْءٌ. رواه النسا ئى
Tidak berhak mendapatkan harta warisan sedikitpun seorang yang membunuh.”
b.      Budak
Seorang budak tidak berhak untuk mendapatkan harta warisan dari tuannya, begitu juga sebaliknya. Sebagaimana firman Allah SWT.:
z>uŽŸÑ ª!$# ¸xsVtB #Yö6tã %Z.qè=ôJ¨B žw âÏø)tƒ 4n?tã &äóÓx« ÇÐÎÈ
“Allah telah membuat perumpamaan seorang hamba yang dimiliki, yang tidak berkuasa atas sesuatu.” (an-Nahl : 75)
c.       Perbedaan agama
لاَيَرِثُ الْمُسْلِمُ الْكَافِرَ وَلَا يَرِسُ الْكَافِرُ الْمُسْلِمَ . متفق عليه
Orang islam tidak dapat mewarisi harta warisan dari orang kafir, dan orang kafir tidak bisa mendapatkan harta warisan dari orang islam.”[5]
d.      Berbeda negara
Yang dimaksud berbeda negara adalah berbeda kebangsaannya.
8.      Hikmah mawaris
a.       Dapat memahami hukum-hukum Allah yang berkaitan dengan pembagian harta warisan.
b.      Untuk mewujudkan kemaslahatan anggota keluarga di dalam hidup bermasyarakat.[6]
c.       Mewujudkan hubungan kasih sayang antar keluarga untuk menanggung dan saling menolong dalam kehidupan sesama keluarga.
d.      Membersihkan masalah harta pada seseorang yang bukan haknya.
9.      Warisan bagi ahli waris yang mempunyai kasus tertentu
a.       Warisan anak yang masih dalam kandungan
Mayoritas Ulama berpendapat, bahwa bayi dalam kandungan dapat menerima hak-hak warisnya apabila bayi lahir dalam keadaan hidup. Sebagaimana riwayat dari Abu Hurairah ra. yang menyatakan bahwa Rasulullah SAW. bersabda:[7]
اِذَا اسْتَهَلَّ الْمَوْلُوْدُ وَرِثَ . رواه اصحاب السنن
Apabila bayi yang dilahirkan itu  berteriak, maka ia diberi bagian warisan.”
لاَيَرِثُ الصَّبِيُّ حَتَّى يَسْتَهِلَّ . رواه احمد
“ Bayi tidak bisa menerima bagian warisan sehingga ia berteriak (menangis).”
 Para Ulama sepakat bahwa batas minimal usia bayi dalam kandungan adalah 6 bulan dihitung dari saat akad nikah dilangsungkan. Dasarnya firman Allah SWT:
 ¼çmè=÷Hxqur ¼çmè=»|ÁÏùur tbqèW»n=rO #·öky­ 4 ..... ÇÊÎÈ
“...mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan...” (al-Ahqof :15)
çm÷Fn=uHxq ¼çmBé& $·Z÷dur 4n?tã 9`÷dur ¼çmè=»|ÁÏùur Îû Èû÷ütB%tæ ÇÊÍÈ
“...ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambab-tambab dan menyapihnya dalam 2 tahun....” (luqman :14)
Adapun mazhab Syafi’i dan Maliki berpendapat bahwa masa janin dalam kandungan maksimal empat tahun.[8]
b.      Warisan anak zina
Anak zina yaitu anak yang lahir di luar perkawinan yang sah menurut ketentuan agama Islam. Status hukum bayi yang lahir akibat perzinaan, tidak bisa dinasabkan kepada bapaknya.
Imam Hanafi berpendapat bahwa wanita yang melahirkan itu tetap dianggap dalam ranjang suaminya. Karena itu, anak yang dilahirkan dapat dipertalikan nasabnya kepada ayahnya sebagai anak sah.

Dasar hukum yang digunakan adalah sabda Rasulullah SAW:
اَلْوَلَدُ لِلْفِرَاسِ . رواه الحمسة
“Anak itu dinasabkan kepada orang yang seranjang tidur”
Menurut Imam Syafi’i dan Imam Maliki, anak zina tidak bisa mewarisi ayahnya, karena status hukumnya tidak ada hubungan nasab di antara mereka. Anak zina hanya bisa mewarisi harta peninggalan ibunya, dan saudara-saudaranya yang seibu. [9]
c.       Warisan anak li’an
Li’an adalah sumpah seorang suami yang menuduh isterinya berbuat zina, ia akan mendapat laknat Allah SWT., apabila tuduhan terhadap isterinya tersebut tidak benar. Apabila tuduhan tersebut benar dan kemudian isterinya melahirkan anak, maka anak tersebut dinamakan anak li’an. Status hukum anak li’an sama dengan anak zina, sebagaimana sabda Nabi SAW:[10]
جَعَلَ رسولُ الله ص.م. ميراثَ ابنِ المُلاعَنَةِ لِاُمِهِ وَلِوَرَثَتِهَا مِنْ بَعْدِهَا . رواه ابو داود
“Rasulullah SAW. menjadikan hak waris anak li’an kepada ibunya dan ahli waris ibu sesudahnya.”
d.      Warisan orang yang hilang
Yang dimaksud hilang di sini adalah orang yang tidak lagi diketahui keberadaannya dalam jangka waktu yang relatif lama. Tidak diketahui beritanya di mana tempat tinggalnya dan tidak diketahui apakah ia masih hidup atau sudah meninggal.
1).  Apabila kedudukannya sebagai muwarrits
a). Harta orang yang hilang ditunggu sampai ada kepastian keberadaannya, atau ada kepastian hidup dan matinya.
b).  Ditunggu sampai batas usia manusia pada umumnya. Menurut Abdul Hakim ditunggu sampai batas usia kurang lebih 70th.
2). Apabila kedudukannya sebagai ahli waris maka harta warisan dibagikan, dan dia (sebagai orang yang hilang) diberikan bagian sebagai mana bagian mestinya. Jika dia masih hidup dan datang, maka bagiannya itu diserahkan. Kalau ternyata sudah meninggal, maka bagiannya diserahkan kepada ahli waris lain yang berhak.
e.       Warisan orang banci
Banci atau dalam istilah fiqh al-khunsa adalah orang-orang yang mempunyai alat kelamin laki-laki dan kelamin perempuan, atau bahkan tidak mempunyai alat kelamin sama sekali. Nabi SAW. ketika beliau menimang anak banci orang anshar dan ditanya tentang hak warisnya, beliau menjawab : “berikanlah anak khunsa ini (seperti bagian anak laki-laki atau perempuan) mengingat alat kelamin mana yang pertama kali digunakan buang air kecil”.
وَرَّثُوْا مِنْ اَوَّلِ مَا يضبُولُ . روهابن عباس
berikanlah warisan memnurut kelamin mana ia buang air kecil”.[11]
Hak waris yang diberikan kepada banci hendaklah yang paling sedikit di antara dua keadaannya, bila ia sebagai laki-laki dan sebagai wanita. Makna pemberian hak banci dengan bagian paling sedikit menurut kalangan fuqoha, yaitu apabila banci dinilai sebagai wanita bagiannya lebih sedikit, maka hak waris yang diberikan kepadanya adalah hak waris wanita; dan bila dinilai sebagai laki-laki dan bagiannya lebih sedikit, maka divonis sebagai laki-laki. Bahkan apabila ternyata dalam keadaan diantara kedua-duanya status harus ditiadakan haknya, maka diputuskan bahwa banci tidak mendapatkan hak waris.
Bahkan dalam mahdzab Imam Syafi’i, bila dalam suatu keadaan salah seorang dari ahli waris gugur haknya dikarenakan adanya banci dalam salah satu dari dua status (yakni sebagai laki-laki atau wanita), maka gugurkah hak warisnya.[12]
D.    KESIMPULAN
Dari pembahasan di atas dapat ditarik beberapa kesimpulan diantaranya:
1.      Mawaris menurut syaraadalah ilmu yang membahas tentang hal-hal yang berkaitan dengan pembagian harta peninggalan (harta warisan).
2.      Hukum mempelajari ilmu mawaris adalah fardhu kifayah, dan hukum membagi harta warisan sesuai  yang diterangkan dalam al-Qur’an dan al-Hadits harus diikuti dan dijalankan.
3.      Tujuan Ilmu Mawaris
a.         Agar dapat melaksanakan pembagian harta warisan kepada ahli waris yang berhak menerimanya sesuai dengan syari’at islam.
b.        Agar diketahui secara jelas siapa orang yang berhak menerima harta warisan dan berapa bagian masing-masing.
c.         Menentukan pembagian harta warisan secara adil dan benar
4.      Hak-hak yang wajib ditunaikan sebelum warisan dibagikan antara lain biaya perawatan jenazah, pelunasan hutang dan pelaksanaan wasiat.
5.      Sebab-sebab waris mewarisi yaitu sebab nasab, pernikahan yang sah, wala’ dan sebab kesamaan agama.
6.      Halangan waris mewarisi yaitu pembunuh, budak, berbeda agama dan negara.
7.      Hikmah mawaris antara lain:
a.    Dapat memahami hukum-hukum Allah yang berkaitan dengan pembagian harta warisan.
b.    Untuk mewujudkan kemaslahatan anggota keluarga di dalam hidup bermasyarakat.
c.    Mewujudkan hubungan kasih sayang antar keluarga untuk menanggung dan saling menolong dalam kehidupan sesama keluarga.
d.   Membersihkan masalah harta pada seseorang yang bukan haknya.
8.      Warisan bagi ahli waris yang mempunyai kasus tertentu diantaranya warisan anak yang masih dalam kandungan, warisan anak zina, warisan anak li’an, warisan orang yang hilang dan warisan orang banci.


DAFTAR PUSTAKA
Ash-Shabuni, Muhammad Ali. 1995. Pembagian Waris Menurut Islam (Jakarta: Gema Insani Press)
Departemen Agama Jateng. 2004,  FIQIH (Semarang : CV GANI & SON)
Muhammad Syah, Ismail 1992. Filsafat Hukum Islam (Jakarta: Bumi Aksara) Sabiq, Sayyid. 1987. FIQIH SUNNAH 14 ( Bandung: PT. Alma’arif)
Supiana, 2001. Materi Pendidikan Agama Islam (Bandung : PT Remaja Rosdakarya)
Zaenudin, Djedjen dan Mundzier Suparta.2009, Fiqh (Semarang : PT. Karya Toha Putra)




[1] Departemen Agama Jateng, FIQIH (Semarang : CV GANI & SON, 2004) hlm 77
[2] Djedjen Zaenudin, Mundzier Suparta, Fiqh (Semarang : PT. Karya Toha Putra, 2008) hlm 102
[3] Depag  jateng, op.cit, hlm 78
[4] Supiana, Materi Pendidikan Agama Islam (Bandung : PT Remaja Rosdakarya, 2001) hlm144
[5] Sayyid Sabiq, FIQIH SUNNAH 14 ( Bandung: PT. Alma’arif, 1987) hlm261
[6] Ismail Muhammad Syah, Filsafat Hukum Islam (Jakarta: Bumi Aksara, 1992) hlm 235
[7] Ahmad Rofiq, Fiqih Mawaris (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2001) hlm 147
[8] Muhammad Ali Ash-Shabuni, Pembagian Waris Menurut Islam (Jakarta: Gema Insani Press, 1995)  hlm 166
[9] Ahmad Rofiq, op.cit, hlm 160
[10] Ibid, hlm 163
[11] Ibid, hlm 171
[12] Muhammad Ali Ash-Shabuni, op.cit, hlm 163