ISTISHAB
MAKALAH
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Ushul Fiqih
Dosen Pengampu Yusuf Fatoni, M.Ag
Disusun Oleh:
1.
Ahmad
Fauzi NIM 111001
2.
Khoirul
Anwar NIM 111216
3.
M.
Khoirul Fatihin NIM 111015
4.
Shofiyyatun NIM 111022
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM PATI (STAIP)
JURUSAN TARBIYAH
2013
ISTISHAB
A. PENDAHULUAN
Allah SWT telah mewahyukan Al-Qur’an kepada
Nabi Muhammad SAW yang berisi perintah dan larangan untuk menjadi pedoman hidup
umat manusia. Barang siapa yang mengikutinya akan selamat di dunia dan akhirat
dan bagi manusia yang tidak menundukkan
dirinya kepada aturan Al-Qur'an akan
dimurkai oleh Allah SWT.
Dalam Islam dalil utama yang digunakan oleh
fuqaha untuk mengistimbat hukum-hukum adalah Al-Qur'an, bila dalam Al-Quran tidaak
diatur atau tidak didapatkan hukum maka dalil berikutnya yang akan digunakan
oleh mufassir adalah Al-Hadits. Sekiranya dalam haditspun tidak didapatkan
ketentuan-ketentuan hukum yang dikaji maka dalil berikutnya adalah Ijma dan Qiyas.
Al-Qur’an, Hadits, Ijma’ dan Qiyas
merupakan dalil-dalil syara’ yang sudah disepakati oleh para jumhur fuqoha
untuk menggali hukum-hukum syara’ sebagai jawaban terhadap hukum-hukum yang
belum ada ketentuannya. Di samping dalil-dalil syara’ yang sudah disepakati
jumhur ulama, ada beberapa dalil-dalil syara’ yang masih diperdebatkan oleh
para jumhur ulama’ salah satunya adalah istishab.
B. RUMUSAN MASALAH
1.
Apakah pengertian istishab?
2.
Apa sajakah macam-macam istishab?
3.
Bagaimanakah kedudukan istishab?
4.
Bagaimanakah perbedaan pendapat Ulama’ tentang istishab?
C. PEMBAHASAN
1. Pengertian Istishab
Istishab (الِإسْتِصْحَابُ)
menurut etimologi berasal dari kata istishaba dalam sighat
istif’al ( اِسْتِفْعَالَ) yang bermakna: اِسْتِمْرَارُ الصَّحَبَهْ. Kalau kata الصَّحَبَهْ diartikan dengan sahabat atau teman dan اِسْتِمْرَارُ
diartikan selalu atau terus menerus, maka istishab secara Lughawi
artinya selalu menemani atau selalu menyertai. Atau diartikan
dengan minta bersahabat, atau membandingkan sesuatu dan
mendekatkannya, atau pengakuan adanya perhubungan atau mencari sesuatu
yang ada hubungannya.
Istishhab secara bahasa adalah
menyertakan, membawa serta dan tidak melepaskan sesuatu. Jika seseorang
mengatakan:
استصحبت
الكتاب في سفري
Maka itu artinya aku membuat buku itu ikut
serta bersamaku dalam perjalananku.
Menurut Abdul Karim Zaidan, istishab
berarti “menganggap tetapnya status sesuatu seperti keadaannya semula selama
belum terbukti ada sesuatu yang mengubahnya”.[1]
Definisi yang lain yang senada dengan itu dikemukakan
oleh Ibnu al-Qayyim al-Jawziyah yaitu “menetapkan berlakunya suatu hukum yang
telah ada atau meniadakan sesuatu yang memang tiada sampai ada bukti yang
mengubah kedudukannya”.
Sedangkan menurut Asy-Syaukani
menta’rifkan Istishab dengan “tetapnya sesuatu hukum selama tidak ada yang
mengubahnya.
2. Macam-macam Istishab
Muhammad
Abu Zahrah menyebutkan empat macam istishab seperti berikut:[2]
a.
Istishab al-ibahah al-ashliyah
Istishab al-ibahah al-ashliyah yaitu istishab yang didasarkan atas hukum
asal dari sesuatu yaitu mubah. Istishab semacam ini banyak berperan dalam
menetapkan hukum di bidang mu’amalat. Landasannya adalah sebuah prinsip yang
mengatakan bahwa hukum dasar dari sesuatu yang bermanfaat boleh dilakukan dalam
kehidupan umat manusia selama tidak ada dalil yang melarangnya. Prinsip
tersebut berdasarkan surat al-Baqarah ayat 29:
uqèd Ï%©!$# Yn=y{ Nä3s9 $¨B Îû ÇÚöF{$# $YèÏJy_ ...... ÇËÒÈ
“Dia-lah Allah, yang
menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu....”
Ayat
tersebut menegaskan bahwa segala yang ada di bumi dijadikan untuk umat manusia
dalam pengertian boleh dimakan makanannya atau boleh dilakukan hal-hal yang
membawa manfaat bagi kehidupan.
Contoh:
Makanan, minuman, hewan, tumbuh-tumbuhan dan lain-lain selama
tidah ada dalil yang melarangnya adalah halal dimakan atau boleh dikerjakan.
b.
Istishab al-baraah al-ashliyah
Istishab al-baraah al-ashliyah yaitu istishab yang didasarkan atas prinsip bahwa
pada dasarnya setiap orang bebas dari tuntutan beban taklif sampai ada dalil
yang mengubah statusnya itu, dan bebas dari utang atau kesalahan sampai ada
bukti yang mengubah statusnya itu.
Seorang yang menuntut bahwa haknya terdapat
pada diri sesorang, ia harus mampu membuktikannya karena pihak tertuduh pada
dasarnya bebas dari tuntutan, dan status bebasnya itu tidak bisa diganggu gugat
kecuali dengan bukti yang jelas. jadi seseorang dengan prinsip istishab, akan
selalu dianggap berada dalam status tidak bersalahnya sampai ada bukti yang
mengubah statusnya itu.
c.
Istishab al-hukm
Istishab al-hukm
yaitu istishab yang didasarkan atas tetapnya status hukum yang sudah ada selama
tidak ada bukti yang mengubahnya. Misalnya, seseorang yang memiliki sebidang
tanah atau harta yang bergerak seperti mobil, maka harta miliknya itu tetap
dianggap ada selama tidak terbukti dengan peristiwa yang mengubah status hukum
itu, seperti dijual atau dihibahkannya kepada pihak lain. Seseorang yang sudah
jelas berhutang kepada si fulan, akan selalu dianggap berhutang sampai ada yang
mengubahnya, seperti membayarnya sendiri atau pihak yang berpiutang
membebaskannya daru utang itu. Seseorang yang jelas telah mengakadkan nikah
terhadap seorang wanita, maka wanita itu akan tetap dianggap sebagai istrinya
sampai terbukti telah diceraikannya.
d.
Istishab al-wasf
Istishab
al-wasf yaitu istishab yang didasarkan atas
anggapan masih tetapnya sifat yang diketahui ada sebelumnya sampai ada bukti
yang mengubahnya. Misalnya, sifat hidup yang dimiliki seseorang yang hilang
tetap dianggap masih ada sampai ada bukti ia telah wafat. Demikian pula air
yang diketahui bersih selama tidak ada bukti yang mengubah statusnya itu.
3.
Kedudukan Istishab
Jumhur
ulama’ mengatakan bahwa istishab dapat dijadikan pegangan sebagai hujjah,
karena dalam sejarah kehidupan manusia sudah terbiasa dan menjadi kekuatan
hukum bila berpegang kepada hukum yang berlaku sebelumnya.[3]
Dari
prinsip-prinsip ini ditetapkan kaidah-kaidah Fiqih sebagai berikut:
a.
Asal sesuatu itu tetap sebagaimana adanya
الْاَصْلُ بَقَاءُ مَا كَانَ
عَلَى مَا كَان
Misalnya hukum asal makanan dan minuman adalah halal
b.
Apa yang telah diyakini adanya, tidak hilang karena adanya
keragu-raguan
مَا نَبَتَ بِا لْيَقَيْنِ
بِا لشّكِّ
Misalnya seorang yang telah berwudlu kemudian ia ragu-ragu, apakah
wudlunya sudah batal atau belum, maka wudlunya tetap ada (tidak batal)
c.
Asal hukum segala sesuatu adalah ibahah (boleh), sampai ada dalil
yang mengharuskan mennggalkan hukum tersebut.
الْاَصْلُ فِى اْلاَ شْيَاءِ
اْلاِبَاحَةُ
Misalnya hukum akad jual
beli itu boleh
4. Perbedaan pendapat Ulama’
tentang istishab
Para
ulama’ ushul fiqih, seperti dikemukakan Muhammad Abu Zahrah, sepakat bahwa tiga
macam istishab yang disebut pertama di atas adalah sah dijadikan landasan
hukum. Mereka berbeda pendapat pada macam yang ke empat, yaitu istishab
al-wasf. Dalam hal ini ada dua pendapat:[4]
a.
Kalangan Hanbaliah Syafi’iyah berpendapat bahwa istishab al-wasf
dapat dijadikan landasan secara penuh baik dalam menimbulkan hak yang baru maupun
dalam mempertahankan haknya yang sudah ada. Misalnya, seseorang yang hilang
tidak tahu tempatnya, tetap dianggap hidup sampai terbukti bahwa ia telah
wafat. Oleh karena masih dianggap hidup, maka berlaku baginya segala hal bagi
orang hidup, seperti harta dan istrinya masih dianggap kepunyaannya, dan jika
ada ahli warisnya yang wafat, maka dia turut mewarisi harta peninggalannya dan
kadar pembagiannya langsung dinyatakan sebagai hak miliknya.
b.
Kalangan Hanafiyah dan Malikiyah berpendapat, bahwa istishab
al-wasf hanya berlaku untuk mempertahankan haknya yang sudah ada bukan bukan
untuk menimbulkan hak yang baru. Dalam contoh di atas, orang yang hilang itu,
meskipun ia dianggap masih hidup, yang dengan itu istrinya tetap dianggap
sebagai istrinya dan hartanya juga masih berstatus sebagai hak miliknya sebagai
orang yang masih hidup, namun jika masih ada ahli warisnya yang wafat, maka
khusus kadar pembagiannya harus disimpan dan belum dapat dinyatakan sebagai
haknya sampai terbukti ia hidup. Jika terbukti ia telah wafat dan ternyata
lebih dulu wafatnya dibandingkan dengan waktu wafat ahli warisnya, maka kadar
pembagiannya yang disimpan tersebut dibagi di antara ahli waris yang ada.
Alasan mereka karena keadaanyya masih hidup semata-mata didasarkan atas dalil
istishab yang berupa dugaan, bukan hidup secara fakta.
D. KESIMPULAN
Dari pembahasan di atas, dapat ditarik beberapa kesimpulan,
diantaranya :
1.
Istishab adalah
menetapkan suatu hukum yang telah ada selama belum ada hukum baru yang
menggantinya.
2.
Ada 4 macam istishab diantaranya yaitu, istishab al-ibahah
al-ashliyah, istishab al-baraah al-ashliyah, istishab al-hukm dan istishab
al-wasf.
3.
Kedudukan Istishab
a.
Asal sesuatu itu tetap sebagaimana adanya
b.
Apa yang telah diyakini adanya, tidak hilang karena adanya
keragu-raguan
c.
Asal hukum segala sesuatu adalah ibahah (boleh), sampai ada dalil
yang mengharuskan mennggalkan hukum tersebut.
4.
Terdapat dua perbedaan mengenai istishab, yaitu terletak
pada istishab al-wasf.
DAFTAR PUSTAKA
Effendi, Satria.2009. Ushul Fiqih
.Jakarta : KENCANA
Rifa’i, Moh. 1991. Ushul Fiqih untuk Madrasah Aliyah.
Semarang : WICAKSANA